BIN.com Ponorogo – Sebuah perjalanan kontrol sosial yang dilakukan oleh seorang jurnalis independen berubah menjadi mimpi buruk ketika harus melintasi jalan desa yang menghubungkan Kecamatan Ngrayun dengan Desa Temon dan Desa Sendan, Kabupaten Ponorogo.
Tepatnya di Dusun Waru, Desa Ngrayun RT 02/RW 03, kondisi jalan yang rusak parah tidak hanya menghambat mobilitas masyarakat, tetapi juga menyulitkan para pengawas sosial dan jurnalis yang ingin merekam denyut nadi kehidupan desa dari dekat. “Ini bukan jalan, tapi ladang jebakan. Tiap hari warga harus berjudi dengan nasib hanya untuk keluar desa,” keluh salah satu warga RT 02.
Kondisi memprihatinkan itu terbukti saat kendaraan awak media yang digunakan dalam kegiatan jurnalistik terperosok ke dalam lubang besar dan hampir terguling. Insiden tersebut sontak menarik perhatian warga sekitar. Sekitar 30 hingga 50 orang warga secara spontan turun tangan membantu proses evakuasi mobil yang nyaris terbalik di jalan tanah yang licin dan berlubang parah. Kejadian ini menjadi gambaran nyata betapa buruknya kondisi jalan yang setiap hari dilalui warga.
Di beberapa titik, terutama wilayah Mbadut dan Tanjung, akses jalan utama tak ubahnya medan off-road. Lubang-lubang menganga, badan jalan tergerus air hujan, dan tidak adanya drainase yang memadai menjadikan jalur ini layak menyandang julukan getir dari warga: “Wisata Jalan 1000 Jeglongan.”
Julukan itu bukan tanpa alasan. Setiap meter perjalanan dipenuhi dengan guncangan dan ancaman kecelakaan. Bukan sekadar kritik, ini adalah teriakan sunyi dari masyarakat pedesaan yang terlalu lama diabaikan.
Sayangnya, sampai hari ini, warga Dusun Waru dan sekitarnya masih harus menanggung risiko setiap kali melintasi jalan tersebut. Kondisi yang tak manusiawi ini seolah menjadi bukti nyata bahwa pemerataan pembangunan selama ini hanya menjadi retorika dalam pidato-pidato politik.
Di mana kehadiran pemerintah? Apakah pembangunan hanya sebatas angka dan seremoni tanpa memedulikan realita pahit warga yang setiap hari bergulat dengan jalan rusak menuju rumah, sekolah, hingga ladang mereka?
Jika jalur vital seperti ini saja tak kunjung disentuh, bagaimana mungkin masyarakat percaya pada janji-janji pembangunan yang berkeadilan? Ponorogo tak hanya milik kota. Ponorogo juga milik Ngrayun, milik Temon, milik Sendan, dan milik setiap jeglongan yang selama ini terlupakan.
Khnza Haryati / Aji
Social Header