BIN.com Semarang - Tangis seorang ibu muda pecah di lorong rumah sakit, Sabtu (14/6) malam itu. Di atas ranjang ruang Unit Gawat Darurat, tubuh mungil anaknya terbaring lemah, menggigil karena demam tinggi yang tak kunjung reda.
Bayi yang bahkan belum genap berusia satu tahun itu kembali harus berjuang melawan rasa sakit, didampingi sang ibu yang tak pernah lelah berjuang seorang diri.
Namanya Anggreini. Di balik raut wajah lelahnya, tersimpan kekuatan luar biasa seorang ibu. Ia tak pernah menyerah, meski beban hidup seolah bertumpuk.
Setiap tetes keringatnya ditukar demi satu hal kesembuhan anaknya. Di tengah keterbatasan, ia tetap teguh berdiri, walau sosok ayah dari anak itu memilih menghilang tanpa jejak.
Dalam foto yang beredar, terlihat seorang dokter wanita dengan mengenakan hijab dan masker sedang memeriksa sang bayi, dibantu oleh seorang perawat.
Bayi tersebut tampak mengenakan baju merah dan hanya memakai popok, dengan tubuh kecilnya yang lemah berbaring di atas ranjang pemeriksaan.
Tidak ada pelukan pria di sampingnya, tidak ada pundak untuk bersandar. Hanya sepasang tangan rapuh yang terus menggenggam harapan.
“Saya hanya ingin anak saya diakui,” ujar Anggreini lirih. Suaranya gemetar menahan tangis.
Anggreini, telah melaporkan kasus ini ke sejumlah instansi terkait, termasuk ke Polda Jateng. Namun, hingga kini belum ada langkah konkret dari pihak yang diduga sebagai ayah dari anak tersebut untuk bertanggung jawab.
Setiap hari, Anggreini harus memilih antara membeli obat untuk anaknya atau makan untuk dirinya sendiri. Tak jarang ia menahan lapar demi memastikan anaknya tetap dirawat dengan layak. Dalam kesendirian itu, tak ada tempat mengadu selain Tuhan dan secercah harapan pada keadilan.
“Kondisinya butuh penanganan cepat, dokter bilang bisa jadi tumor. Tapi saya tidak punya cukup uang. Rasanya hati ini hancur setiap kali melihat dia kesakitan,” tuturnya sambil menatap nanar ke arah anaknya yang tertidur lemah.
Dalam air mata dan doa yang tak pernah putus, Anggreini terus berjuang. Ia bukan hanya meminta keadilan untuk dirinya, tapi untuk masa depan anak yang tak pernah memilih dilahirkan dalam kondisi penuh luka dan ketidakpastian.
“Saya berharap negara hadir dalam kasus ini. Anak saya berhak hidup layak dan sehat. Saya tidak minta lebih, hanya tanggung jawab dan keadilan,” tutur Anggreini, yang sehari-hari harus mencari nafkah sambil merawat anaknya yang sakit.
Khnza Haryati
Social Header